Sebenarnya saya main ke Tana Toraja sudah sejak bulan agustus 2009. Karena saat itu saya belum punya Blog & tidak berpikir unutk punya blog. Maka perjalanan saya hanya diabadikan lewat kamera HP saja dan baru sekarang bisa menulisnya di Blog,
Tana Toraja adalah nama sebuah kabupaten yang terletak di provinsi Sulawesi Selatan dengan Ibu kota Makale. Saat itu saya sedang bekerja dan ditempatkan di Palopo Sulawesi Selatan. Kebetulan, ada teman kerja yang asli orang Tana Toraja tepatnya di Rantepao yang bernama Mas Sem.
Karena bulan Nopember saya sudah harus pulang ke jawa ( Klaten ) makan pada bulan tangggal 22 Agustus 2099 saya diantar seorang teman kerja untuk berkunjung di Tana Toraja.
Perjalanan dari palopo ke Tana Toraja ditempuh dalam waktu ± 4 jam dengan mengendarai sepeda motor. Jalanan yang kami lalui adalah mendaki, karena memang Palopo dan Tana Toraja terpisah dengan bukit-bukit.
Perjalanan kami sempat terhambat karena adanya longsor di sebuah tebing sehingga setengah badan jalan tertutup lumpur. Meskipun sudah ada upaya dari pemerintah dan warga setempat, namun Lumpur masih menghambat perjalanan para pengguna jalan.
Saya pun turun dari motor dan jalan di antara Lumpur yang licin, sedangkan Pak Tisna mendorong motor yang bagian ban telah diberi rantai pinjaman dari waraga yang bergotong royong di tempat tersebut.
Setelah lebih dari 3 jam melewati jalanan yang menanjak dengan panorama gunung dan sawah, akhirnya kami sampai di kabupaten Tana Toraja.
Tujuan pertama kami adalah pasar kerbau yang terkenal di Tana Toraja ( Lupa namanya He..he.. ) Di sana banyak terdapat kerbau dan babi yang akan diperjualbelikan. Sebagian besar penduduk Tana Toraja beternak Kerbau atau Babi. Karena biasanya Kerbau maupun babi tersebut di gunakan saat ada upara pemakaman.
Setelah puas jalan-jalan di sekitar pasar, kami pun segera ke tempat pemakaman atau tempat peletakkan jenazah bagi warga Tana Toraja yaitu Kete’Kesu.
Sebelum memasuki area pemakaman/peletakan jenazah, terlihat beberapa rumah adat yang terkenal dengan sebutan rumah tongkonan. Atapnya terbuat dari daun pipa/kelapa dengan hiasan tanduk kerbau di tiang depan rumah dan mampu bertahan sampai 50 tahun.
Menurut kepercayaan penduduk Tana Toraja orang yang meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi penduduk setempat, sebelum terjadi upacara rambu solo maka orang meninggal dianggap sebagai orang sakit, sehingga harus diperlakukan layaknya orang hidup seperti menyediakan makanan,minuman, sirih, atau rokok.
Orang yang meninggal biasanya di simpan di tongkonan maupun ruangan yang terbuat dari beton sebelum di pindahkan ke tebing tempat meletakkan jenazah untuk terakhir kalinya..
Dan inilah tebing tempat meletakkan jenazah penduduk Tana Toraja..
Sayangnya, di sini banyak tulang-tulang manusia yang tidak terurus dan dibiarkan begitu saja di skitar tebing
Setelah puas berjalan – jalan di Kete’kesu, kamipun segera pulang karena sudah sore dan mendung. Namun, kami menyempatkan untuk membeli oleh – oleh sebagai kenangan kalau pulang ke jawa. Sayapun membeli Hiasan & jam dinding ukiran khas toraja, Kopi Toraja ( Arabica ), gantungan kunci ukiran toraja, Kaos Toraja & juga Terong belanda.
Semoga, kebudayaan Tana Toraja akan selalu terjaga kelestariannya..
¤* Yuden_Japan *¤
0 komentar:
Posting Komentar