Yuden Japan

Rabu, 18 Januari 2012

Mbah Rambat


Nduk, Urip kuwi gur sedelo, dadi ora usah nangis kanggo ndonyo (1)..


Kata-kata itu yang selalu diucapkan ketika ku tak bisa tidur sambil di usapnya rambutku.. Meski sudah lebih dari 5 tahun aku tak medengar kata itu lagi.

Beliau adalah seorang nenek yang hidup di sebuah surobayan(2) di tanah peninggalan suaminya. Meskipun saat itu Beliau mempunyai 6 orang anak dan 26 cucu, namun simbah tetap tak mau tinggal bersama salah satu anaknya. Di usianya yang sudah lebih dari 70 tahun, Simbah masih sehat dan beraktivitas sebagai Dukun Bayi. Meskipun sudah ada rumah sakit dan Bidan di desa, namun sebagian besar penduduk di desa masih mempercayakan simbah untuk membantu persalinan, mengurus Ari-ari ( kantong ketuban ) ketika selesai melahirkan, Memandikan & pijat bayi yang belum ada satu bulan, bahkan simbah di mintai tolong untuk sunatan anak perempuan



Di Surobayan itu tak ada kamar maupun ruang tamu. Tak ada barang berharga apapun, selain 3 buah dipan. Dua buah dipan di dalam untuk tempat tidurku dan tempat tidur simbah. Sedangkan satunya di luar. Di samping tempat tidur simbah ada sebuah meja dan 2 buah kursi kayu yang sudah mulai lapuk yaang biasa aku gunakan sebagai meja belajarku kalau malam. Selebihnya sebuah jam dinding, 4 buah gelas, 6 buah piring, wajan, panci, cerek yang masing-masing hanya satu buah.

*****

Sudah menjadi rutinitasku untuk menemani Simbah setiap sore. Sepulang sekolah setelah membantu ibuku membereskan pekerjaan rumah, aku segera menuju ke rumah Simbah yang jaraknya 1 km dari rumah. Aku salah satu dari 26 cucu Simbah. Meskipun di samping Surobayan Simbah ada rumah anak tertuanya yang tinggal bersama 4 orang cucu dan 3 orang cicit simbah, namun tetap saja Simbah tak mau tinggal bersama mereka, bahkan salah satu dari mereka tak ada yang mau menemaninya tidur di surobayan seperti yang ku lakukan. Bahkan simbah belum pernah sekalipun tidur di rumah anak tertuanya itu.. Entah apa alasannya..

Jam 17.30 Aku baru sampai di Surobayan dengan sebuah pohon mangga dan dua buah pohon kelapa di depannya. Terlihat Simbah sudah berdiri cemas di bawah pohon mangga sambil menyambutku dengan kalimat khasnya


Wis Tak arep-arep awit mau nduk… Kok ora njedul-njedul. Nganti tak welingke saben eneng wong sing ngetan(3).


Kalimat itulah yang selalu menyambutku jika aku terlambat sedikit saja dari biasanya. Simbah selalu khawatir bila aku tak datang.
Selesai memasukkan sepeda onthel, akupun segera memberikan nasi dan sayur yang ku bawa untuk makan malam Simbah serta menurunkan radio dan beberapa buku pelajaranku dari tas rinjing. Seperti biasa, telah tersedia seember air di samping tempatku menaruh sepeda & makanan kecil lima ratusan di atas meja untuk camilanku saat belajar.


Ora usah neng jobo nduk, di tutup wae lawange wis surup(4)

Jika kalimat itu sudah di ucapkan simbah, berarti aku harus segera masuk surobayan & tidak boleh keluar. Simbah memang sangat kejawen. Jika matahari sudah terbenam/Maghrib, pintu harus sudah ditutup dan tidak boleh keluar rumah. Kata simbah, banyak makhluk halus berkeliaran di waktu maghrib.

Akupun segera wudhu menggunakan air di ember yang telah disediakan simbah & segera sholat maghrib dilanjutkan mengaji sampai isya. Sedangkan simbah, biasanya akan makan kemudian memanaskan lagi sayur yang kubawakan tadi. Selesai Isya aku segera belajar sambil ditemani lagu-lagu campur sari dari radio yang ku bawa sedangkan simbah duduk bersandar di dinding dengan bantal sebagai tumpuan kepalanya, dan selalu akan tidur dengan posisi tersebut. Walaupun sebelum tertidur simbah selalu bilang

Sinau’o nduk… Tak Kancani sambi ngrungokke campursari kui(5)

Setelah 2 jam mengerjakan PR dan membaca buku pelajaran, aku mengakhiri belajarku. Segera ku bangunkan simbah dengan pelan agar simbah pindah tempat dan bisa tidur dengan posisi yang lebih nyaman.

*****

Aku selalu terbangun ketika mendengar suara simbah sedang mengayunkan tangan dan kakinya di setiap jam 3 pagi. Simbah selalu melakukan gerakan senam itu setiap bangun pagi. Karena belum waktunya subuh, akupun segera wudhu dan sholat tahajud dilanjutkan berdzikir sampai waktu subuh tiba. Sedangkan simbah akan merebus air untuk dibuat teh ginastel(6) kesukaannya. Tepat jam 04.45 aku segera membereskan selimut dan tempat tidurku,memasukkan cething(7) yang ku bawa kemarin,radio, dan buku pelajaranku ke dalam rinjing(8). Aku harus segera pulang ke rumah untuk siap-siap ke sekolah. Setelah pamit dengan simbah, selembar uang seribu rupiah diberikan kepadaku untuk tambah uang saku sekolah. Ku ucapkan terima kasih dan segera mengeluarkan sepeda onthelku untuk pulang. Sementara simbah juga akan berjalan menyusuri gelap pagi menuju rumah penduduk yang punya bayi untuk membantunya memijat & memandikan bayi mereka.

Simbah melayani pemijatan bayi itu sampai di desa-desa sebelah. Simbah harus menyusuri jalan hingga 3 km dengan berjalan kaki. Bahkan, karena terlalu banyak yang membutuhkan, simbah melakukan kegiatan tersebut sehari 2 kali pagi dan sore. Untuk bayi yang telah berumur lebih dari sebulan hanya dikunjunginya tiga hari sekali sedangkan bayi yang belum ada sebulan akan dikunjungi setiap hari pagi dan sore. Di desanya memang hanya simbah yang menjadi Dukun bayi. Entah karena memang tak ada yang bisa atau karena upah yang didapatkan hanya sedikit. Namun yang pasti, simbah di beri upah hanya sekedarnya. sehingga tak heran jika banyak yang membutuhkan tenaga simbah.

Jam tujuh pagi simbah sudah tiba di rumahnya dengan Bundelan(9) di ujung jarik(10)nya yang selalu dibawa kemanapun simbah bepergian.. Bundelan itu berisi Jenang(11) & Sego Gudang (12) yang dibelin dari warung langgananya sepulang memijat bayi. Sampai di Surobayannya, Simbah langsung sarapan dengan jenang sambil menikmati wedang teh Ginastel yang dibuatnya tadi pagi. Selesai sarapan Simbah menjemur nasi sisa kemarin yang ku bawakan karena tak habis dimakan, lalu memasak air untuk mandi. Sambil menunggu air mendidih simbah meyapu halaman dan jalan depan surobayan. Selesai menyapu simbah akan mandi dilanjutkan mencuci pakaiannya. Meksipun ku tawari untuk mencucikan bajunya,namun simbah selalu menolak. Simbah bilang masih kuat untuk mencuci.
Sedangkan air, simbah harus membeli kepada cucu dari anak tertuanya yang tinggal di samping surobayannya dengan harga Rp.5.000,- untuk memenuhi genthong(13). Simbah memang sudah tak kuat untuk menimba air di sumur tetangga yang kedalamannya lebih dari 40 meter. Sedangkan aku hanya bisa mengambilkan air setiap hari minggu saja. Itupun simbah melarangnya. Dengan alasan simbah masih punya uang untuk membeli air dari cucunya sendiri.

Simbah termasuk orang yang tak betah bila harus berdiam diri, selalu ada saja yang dilakukannya. Membuat sapu lidi salah satu kegiatannya di siang hari. Ketika ada pelepah pohon kelapa depan surobayannya yang sudah berwarna kuning, simbah selalu mengambilnya untuk dibuat sapu lidi & pelepahnyanya dibuat kayu bakar. Terkadang simbah juga diberi pelepah kelapa oleh tetangga yang kebetulan sedang memanjat pohon untuk memetik kelapa. Setelah terkumpul beberapa ikat sapu lidi simbah akan menitipkan kepada tetangga yang biasa berjualan di pasar. Jika sedang tidak membuat sapu lidi, simbah akan menyusuri kebun di samping dan depan surobayanya untuk mencari ranting yang telah jatuh dari pohon-pohon besar yang ada di kebun tersebut. Kemudian menjemurnya di halaman. Tak Jarang, kayu bakar simbah terkumpul banyak dan sering diminta oleh anak-anaknya jika mereka kehabisan kayu bakar.

Ketika matahari telah tepat di atas kepala, simbah akan beristirahat di depan rumah sambil menikmati sego gudang yang dibelinya tadi pagi. Simbah tidak biasa masak, karena menurut simbah terlalu ribet jika hidup sendiri masih harus repot masak. Selesai makan, simbah pun tidur di dipan yang ada di beranda surobayannya. Satu jam cukup buat simbah untuk sejenak mengistirahatkan badannya setelah beraktivitas dari pagi. Setelah dirasa cukup untuk beristirahat, simbah segera menghampiri cucian dan nasi sisa yang dijemur tadi pagi. Biasanya nasi sisa tersebut akan jadi nasi aking yang bisa dijual di pasar untuk pakan bebek. Simbah selalu saja bisa memanfaatkan hal-hal sepele untuk bisa menjadi rizki. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 14.00 wib. Simbah segera mengambil jarik dan payung hitamnya untuk kembali menyusuri jalanan yang masih dihiasi teriknya matahari mengunjungi beberapa bayi yang rumahnya agak jauh. Simbah memang selalu berkunjung ke desa tetangga ketika sore hari.

*****

Untuk setiap pagi maupun sore, simbah bisa berkunjung dan melayani 3 sampai 4 bayi. Sehingga, sehari simbah bisa mendatangi sampai 8 bayi. Simbah hanya memijat bayi, memandikannya kemudian bayi digedong(14) agar malam hari bayi tidur pulas.
Biasanya simbah pulang dengan membawa bundelan lagi namun beda isinya. Jika pagi berisi jenang & sego gudhang tetapi kalau sore berisi camilan yang dibeli untukku. Setengah empat simbah sampai surobayan dan segera memindahkan kayu bakar yang tadi siang di jemurnya ke tretepan(15) agar tak kehujanan Dilanjutkan memasak air untuk mandi kemudian menyiapkan air di ember untukku wudhu di waktu maghrib & Isya.

Seperti biasa, setiap jam 4 sore simbah sudah tak melakukan kegiatan apapun selain menungguku di bawah pohon mangga. Terkadang simbah juga mondar mandir di jalan untuk melihatku apakah aku sudah kelihatan dari timur.

Ketika aku datang tepat waktu ( Kurang dari setengah 5 ) sambil menunggu waktu maghrib biasanya aku akan memotongkan kuku tangan & kaki simbah, atau Metani (16) simbah.di bawah pohon mangga. Simbah beralaskan tikar dan aku duduk di Dingklik(17). Simbah memang mepunyai kutu rambut, meskipun tak begitu banyak, karena hampir dua hari sekali aku selalu metani, mungkin karena kebiasaan simbah yang selalu memakai minyak goreng untuk dipakai sebagai minyak rambut. Sehingga kulit kepala kotor & lembab menyebabkan kutu berkembang biak. Ketika ku petani, simbah selalu sambil menceritakan tentang masa lalunya yang berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk berjualan tebu atau mencari padi bekas panen. Aku paling suka mendengarkan cerita – cerita simbah.

*****

Apabila malam minggu, kadang aku memaksa simbah mengajaknya ke tempat tetangga untuk nonton tv. Belum terlalu banyak di desa ini yang punya TV, sehingga Kami harus numpang di tempat tetangga bila ingin melihat acara di TV. Aku memakai jaket dan membawa jarik untuk selimut ketika nonton TV, begitu juga dengan simbah yang juga membawa jariknya. Kami berdua berjalan di gelap malam menyusuri jalan yang belum di aspal. Sebelah kanan dan kiri jalan hanyalah kebun yang ditanami bambu dan pohon-pohon besar, sehingga menambah gelap jalan. Apalagi tak ada penerangan di pinggir jalan.. Jarak Surobayan dengan rumah tetangga sekitar 300 meter. Tangan kanan simbah menggandengku sedangkan tangan kirinya memegang oncor(18) untuk menerangi jalan kami.

Ketika menemani simbah, tak jarang, saat tengah malam, aku ikut terbangun karena ada orang yang datang mencari simbah untuk membantu persalinan. Dan dengan terpaksa aku harus sendiri di surobayan mendengarkan siaran wayang dari radio sambil menunggu simbah diantar pulang. Namun hal yang paling ku suka, ketika simbah diminta untuk menyunat anak perempuan. Meskipun aku harus sendiri di Surobayan, namun aku sangat senang. Karena biasanya simbah akan pulang membawa makanan dan beberapa sajen yang ada nasi tumpeng lengkap dengan lauk & sayurnya, berbagai makanan (wajik,risol,bolu kukus,kue lapis,dll), tukon pasar(19), dan pastinya uang sajen biasanya Rp.5.000,-


*****

Aku terkadang bosan harus menemani simbah setiap hari. Apalagi dengan segala aturan simbah yang mengharuskan tidak boleh keluar rumah di malam hari meskipun untuk pergi ke masjid, ke atas dipan harus lutut dulu, bangun harus sebelum ayam berkokok, perempuan rambut harus panjang, dll. Tak heran jika hanya aku sendiri di antar 26 cucunya yang masih mau menuruti semua keinginan simbah dan menemaninya di surobayan. Simbah juga tak akan mau jika ditemani cucunya selain aku. Menurut simbah, hanya aku yang tak pernah bersikap kasar kepadanya dan menuruti perkataannya.

Padahal aku tahu, sebenarnya mereka tak bersikap begitu dengan simbah. Mungkin mereka hanya tak terbiasa berdiam diri di dalam surobayan yang tak ada fasilitas apapun & tak ada teman bercerita selain seorang simbah yang terkadang tak begitu mendengar ketika diajak berbicara karena sudah berkurang pendengarannya. Simbah memang cukup membingungkan, jika berbicara pelan, simbah mengira itu membicarakannya sedangkan bila bicara agak keras dikira membentak. Untunglah, aku bisa sabar menemani simbah sampai empat tahun lamanya,,

Pernah suatu ketika aku ingin ke pasar malam di lapangan desa bersama beberapa saudaraku. Sedangkan simbah aku ajak tidur di rumah biar tidak sendirian di surobayan. Tapi simbah malah marah & menangis. Simbah tak ingin meninggalkan Surobayannya meski hanya semalam. Dan akhirnya aku mengalah karena simbah selalu saja mengeluarkan kata-kata yang membuatku tak tega..

Yo wis yen podo wegah ngancani aku. Yen aku mati ben ora eneng sing ngonangi(20)

*****
Setelah berkali-kali aku dan orang tuaku membujuk simbah, akhirnya simbah mau bermalam di rumah orang tuaku. Meskipu setiap pagi & sore simbah minta di antarkan ke Surobayan untuk sekedar menyapu halaman, menyalakan dan mematikan listrik.

Masih sangat ku ingat hari itu. Setelah 2 hari masuk angin, simbah tak megunjungi surobayannya & aku diminta untuk menyalakan atau mematikan lampu di sana. Malamnya ku temani simbah sambil ku pijiti kakinya. Simbah terlihat seperti tak sakit.
Ketika subuh, simbah bangun dan berjalan-jalan di depan rumah. Setelah berjalan-jalan simbah tiduran lagi. Setengah 6 simbah sarapan dengan di suapi mak’e(21). Sedangkan aku siap-siap untuk bekerja. Tiba-tiba simbah mencariku.

Denok neng ngendi? Denok ojo enthuk neng ngendi endi yo(22)
kata simbah saat itu.

Denok kajenge nyambut ndamel mbok, Niki kulo rencangi(23)
jawab mak’e sambil menyuapi simbah dengan bubur.

Yo wis..(24)
Jawabnya pelan hampir tak terdengar. Tersirat sebuah kekecewaan di wajahnya.

Ketika aku baru 2 jam duduk di kantor, aku sudah di jemput paman dan seorang tetangga yang memberitahukan kalau simbah sudah tak ada….
Innalillahi wa inna illahi roji’un…
Aku tak menyangka ternyata simbah ingin aku menemaninya di saat-saat terakhirnya… Dengan keinginann yang diutarakan tadi pagi…
Maafkan aku mbah…

*****
Kini aku baru menyadari bahwa aku merindukannya…

Aku rindu..
Seorang Simbah yang mengusap rambutku ketika aku tak bisa tidur,
Seorang simbah yang selalu menemaniku belajar meskipun kadang tertidur di duduknya, Seorang simbah yang membangunkanku untuk tahajud,
Seorang simbah yang selalu memarahiku jika subuh belum bangun,
Dan aku merindukan..
Seorang simbah yang selalu menunggu kedatanganku di bawah pohon mangga kala senja menyapa…
Aku teramat sangat merindukan kebersamaan itu..


Ya Rabb… Terima lah simbah di sisiMU… Berikanlah tempat yang baik nan indah di sana. Utuslah peri peri Mu untuk menemaninya agar Simbah tak merasakan kesepian lagi.
Ya Rabb… Hamba mohon, ampuni lah dosa dan kesalahan simbah…

Amin Ya Robbal’alamin…


KETERANGAN:

Nduk, Urip kuwi gur sedelo, dadi ora usah nangis kanggo ndonyo (1)
Nak, hidup itu hanya sebentar, jadi jangan menangis karena dunia

surobayan(2
Rumah kecil berukuran 4m x 6m terbuat dari anyaman bambu tanpa kamar/skat ruangan
dengan lantai tanah

Wis Tak arep-arep awit mau nduk… Kok ora njedul-njedul. Nganti tak welingke saben eneng wong sing ngetan(3)
Sudah aku tunggu dari tadi nak, kok tidak datang-datang, sampai aku berpesan dengan orang yang ke timur

Ora usah neng jobo, di tutup wae lawange wis surup(4)
Tidak usah di luar Nak, di tutup saja pintunya. Sudah menjelang maghrib

Sinau’o nduk… Tak Kancani sambi ngrungokke campursari kui(5)
Belajarlah nak, aku temani sambil mendengarkan lagu campur sari itu

Wedhang teh ginastel(6) ( Legi Panas Kenthel ) : Minuman teh yang Manis, Panas, Kenthal

Cething (7) : Tempat nasi

Rinjing (8) : Tas besar yang terbuat dari rotan

Bundelan (9) : Menaruh sesuatu di ujung selendang kemudian di ikatkan pada selendang itu juga

Jarik(10) : Selendang

Jenang(11) : Bubur

Sego Gudang (12) : Nasi dengan sayur sawi,nangka muda,kacang panjang dan kecambah yang telah diberi bumbu parutan kelapa

genthong(13) : Tempat menampung air terbuat dari tanah liat

digedong(14) : Dibedong/ Membungkus bayi dengan kain dari dada sampai kaki agar bayi merasa hangat

tretepan(15) : Beranda samping rumah

Metani (16) : Mencari kutu rambut

Dingklik(17) : tempat duduk dari papan dengan kaki lebih pendek

oncor(18) : Sejenis obor namun terbuat dari botol bekas

tukon pasar(19 : Perlengkapan sesajen yang terdiri dari pisang raja,dan aneka buah-buahan

Yo wis yen podo wegah ngancani aku. Yen aku mati ben ora eneng sing ngonangi (20)
Ya sudah kalau tak mau menemaniku. Jika aku meninggal tidak ada akan yang tahu

mak’e(21) : panggilan Ibu bahasa jawa

Denok neng ngendi? Denok ojo enthuk neng ngendi endi yo(22)
Denok dimana? Denok jangan pergi ya,,,

Denok kajenge nyambut ndamel mbok, Niki kulo rencangi(23)
Denok Biar kerja ya bu.., Sekarang saya temani

Yo wis..(24) : Ya Sudah


Inspired by true story


*Yuden_Japan*

0 komentar:

Posting Komentar